Orang-orang yang
menanti
ialah mereka yang
menghidupkan hidup
bermetamorfosa.
Mereka meramaikan
rumah-rumah ibadah tanpa pernah sesumbar
di toa, di
postingan sosial media, dan di telinga-telinga cangkang.
Bahkan tanpa
pernah memandang rendah,
menyalahkan lalu
meneriakiku
yang hanya
meramaikan toiletnya.
Mereka memenuhi
tangan para pengemis dengan recehan tanpa
merasa kasihan,
memberi memang sudah waktunya memberi.
Tanpa
menimbang-nimbang itu pengemis palsu atau bukan. Tanpa menimbang-nimbang itu
pengemis jackpotnya pahala atau dosa
seperti yang
jarang kulakukan.
Mereka ada di
pasar-pasar, menjajakan dagangan dengan
pijakan
ketulusan. Mengambil untung dari ketelitian dan ketekunan sendiri
tanpa mengakali
timbangan, ketidaktahuan pembeli, dan memanfaatkan kelangkaan barang dagangan
seperti yang
sering kulakukan.
Mereka menghibur
para penonton yang haus kesegaran pandangan
dengan keindahan.
Merasa sudah kewajiban
berkarya dengan hati
nurani dan menggugah arus bawah
tanpa sambat, pun
tanpa merasa kebebani, seperti yang
jarang kurasakan.
Mereka ada di
sawah-sawah, mengolah tanah,
lalu menanaminya
dengan padi hari esok,
meski nama dan
keringatnya seringkali merugi
saat panen. Mereka
pantang berelegi atau memaki-maki
mereka yang masih
sering membuang-buang nasi sepertiku.
Mereka meramaikan
jalanan dengan modal jajanan,
atau koran, atau gitar
usang, atau bahkan hanya dengan
tengadah tangan.
Dengan ketekunannya mereka sindir
kepongahan para
kendaraan yang asap knalpotnya menyemerbak
bau keserakahan
ambisi medikari pemiliknya, seperti bauku.
Mereka membimbing
dari depan, mengawal dari belakang,
bahkan menemani
pejalan malam yang rindu matahari pagi,
yang sorot
matanya lampu ublek, yang terseret-seret langkahnya
dengan sepatu
tanpa sol, yang sering mendongak berjalannya.
Tanpa pernah
terima disebut pemandu fajar, seperti yang kuinginkan.
Merekalah
orang-orang yang
menanti
dan menikmati
berseminya kebun Cinta
nanti.