Setelah kudengar
panggilan sayang berkumandang
kulangkahkan
kakiku yang bersandal kelam
ke warung remang
di gang malam.
Bulan sabit di
langit malam
tersenyum getir
bagai pelacur karam.
Seakan heran pada
langkah kakiku
yang menjawab panggilan
dengan tundaan.
Tapi malam
sungguh penuh pengertian.
Dibiarkannya aku
cangkruk di warung remang
agar aku melihat
lilin-lilin paskah mungil di sekitar.
Sudah dua batang
rokok kuhisap
asap dari tiap
batangnya berkepul di mataku,
menjadi kacamata kabut,
dan itu
kugunakan melihat
sekitar.
Apa adanya
memang mudah
dipahami panca indra
namun kala senja
memeluk
jejak-jejak
penuhi sibakan rambut
Apa adanya pun
lari bersama
angin, lalu ditenggelamkan
oleh detik
Di atas
karpet-karpet itu
obrolan dengan riang
mendekap
hangat para insan
cangkrukan.
Di meja-meja
kecil itu
minuman sasetan
jadi raja
bahkan beberapa
berwujud kopi.
Di asbak-asbak
bundar yang mungil
dari kaleng bekas
itu, abu rokok bersinggasana.
Angin malam
berdesir
entah ia bawa
anggur langit atau apa
tiba-tiba obrolan
para insan cangkrukan di meja ini
menjurus ke
Ketidaktahuan.
Sontak kenari
gacor jadi mulutku
begitu dipantik pertanyaan
tentang ketuhanan.
O, samudra
atlantik merah!
Mengapa aku
menikmati menyelamimu?
Mengapa aku
mencari batu hitam
yang sudah
kulempar ke kedalamanmu?
Kilatan di
langitku terus menggoda
agar aku tak
berhenti mengungkapkan
kecerdasanku yang
kukira nyata.
Sementara
lilin-lilin paskah mungil di sekitar
memancar sia-sia.
O, langit kelam
temaram!
O, gang-gang
terjal malam!
Mengapa kicauku
semakin berbinar nanar?
Mengapa
kata-kataku lenyap sunyinya?
Aku sadar
tapi aku menolak
malam ini
kelam temaram
sedang tidur di
alis mata.
Karena aku merasa
purnama ini
rambutku.
Sementara
lilin-lilin paskah mungil di sekitar
seakan berkata:
"Itu rambut palsu!"
Tapi lobang
kupingku
dipenuhi besi berlapis
kayu.
Kicauanku meracau
kosong
setiap bunyi
katanya tak kenal
sunyinya.
Langitku semakin
mendung
tapi aku terbang
semakin tinggi,
dengan sayap
pucat pasi
seakan
menghampiri godaan
kilatan-kilatan
adigung adiguna
O, tanah hitam!
Mengapa
gravitasimu lesu pada kakiku
tatkala kicauanku
semakin indah?
Apa semakin aku
berkicau semakin gravitasimu kacau?
Mengapa ketika
kicauanku diiiyakan, gravitasimu lenyap
dan aku berpijak
senyap? Hampa.
Kosong mlompong
oblong-oblong.
O, angin putih
kekuning-kuningan!
selalu kuberusaha
menepis hembusanmu
tapi wangimu
sungguh memabokkan.
Hingga cukup
sekali hirupan
aku merasa
seperti Semar, lalu
kau gandeng aku
ke lembah kantong semar.
Lilin-lilin
paskah mungil di sekitar pun
seakan berkata:
“Semakin
merasa seperti Semar,
seperti semakin merasa Semar.
Padahal bukan Semar,
bahkan Bagong pun bukan.”
Lilin-lilin
paskah mungil di sekitar meredup
kupingku mengatup
aku berkacamata
kabut.
Jawabanku akan
panggilan
masih berupa
tundaan.
Malam tersenyum
dengan candaan
Rembulan.
0 komentar:
Posting Komentar