Selasa, 18 Juli 2017

Curhatan Pengembara Muda

Setelah kudengar panggilan sayang berkumandang
kulangkahkan kakiku yang bersandal kelam
ke warung remang di gang malam.
Bulan sabit di langit malam
tersenyum getir bagai pelacur karam.
Seakan heran pada langkah kakiku
yang menjawab panggilan dengan tundaan.

Tapi malam sungguh penuh pengertian.
Dibiarkannya aku cangkruk di warung remang
agar aku melihat lilin-lilin paskah mungil di sekitar.
Sudah dua batang rokok kuhisap
asap dari tiap batangnya berkepul di mataku,
menjadi kacamata kabut, dan itu
kugunakan melihat sekitar.
Apa adanya
memang mudah dipahami panca indra
namun kala senja memeluk
jejak-jejak penuhi sibakan rambut
Apa adanya pun
lari bersama angin, lalu ditenggelamkan
oleh detik

Di atas karpet-karpet itu
obrolan dengan riang mendekap
hangat para insan cangkrukan.
Di meja-meja kecil itu
minuman sasetan jadi raja
bahkan beberapa berwujud kopi.
Di asbak-asbak bundar yang mungil
dari kaleng bekas itu, abu rokok bersinggasana.
Angin malam berdesir
entah ia bawa anggur langit atau apa
tiba-tiba obrolan para insan cangkrukan di meja ini
menjurus ke Ketidaktahuan.

Sontak kenari gacor jadi mulutku
begitu dipantik pertanyaan tentang ketuhanan.
O, samudra atlantik merah!
Mengapa aku menikmati menyelamimu?
Mengapa aku mencari batu hitam
yang sudah kulempar ke kedalamanmu?
Kilatan di langitku terus menggoda
agar aku tak berhenti mengungkapkan
kecerdasanku yang kukira nyata.
Sementara lilin-lilin paskah mungil di sekitar
memancar sia-sia.

O, langit kelam temaram!
O, gang-gang terjal malam!
Mengapa kicauku semakin berbinar nanar?
Mengapa kata-kataku lenyap sunyinya?
Aku sadar
tapi aku menolak malam ini
kelam temaram
sedang tidur di alis mata.
Karena aku merasa
purnama ini rambutku.
Sementara lilin-lilin paskah mungil di sekitar
seakan berkata:
        "Itu rambut palsu!"
Tapi lobang kupingku
dipenuhi besi berlapis kayu.

Kicauanku meracau kosong
setiap bunyi katanya tak kenal
sunyinya.
Langitku semakin mendung
tapi aku terbang semakin tinggi,
dengan sayap pucat pasi
seakan menghampiri godaan
kilatan-kilatan adigung adiguna

O, tanah hitam!
Mengapa gravitasimu lesu pada kakiku
tatkala kicauanku semakin indah?
Apa semakin aku berkicau semakin gravitasimu kacau?
Mengapa ketika kicauanku diiiyakan, gravitasimu lenyap
dan aku berpijak senyap? Hampa.
Kosong mlompong oblong-oblong.
O, angin putih kekuning-kuningan!
selalu kuberusaha menepis hembusanmu
tapi wangimu sungguh memabokkan.
Hingga cukup sekali hirupan
aku merasa seperti Semar, lalu
kau gandeng aku ke lembah kantong semar.
Lilin-lilin paskah mungil di sekitar pun
seakan berkata:
     “Semakin merasa seperti Semar,
      seperti semakin merasa Semar.
      Padahal bukan Semar,
      bahkan Bagong pun bukan.”

Lilin-lilin paskah mungil di sekitar meredup
kupingku mengatup
aku berkacamata kabut.

Jawabanku akan panggilan
masih berupa tundaan.
Malam tersenyum
dengan candaan Rembulan.

0 komentar:

Posting Komentar